Pameran Seni Ren Zhe di MOCA Singapura: Menghidupkan Kembali Legenda Pendekar Pemanah Rajawali
Museum Contemporary Art (MOCA) Singapura menjadi lokasi penting dalam dunia seni internasional dengan pameran solo yang menampilkan karya perupa muda Tiongkok, Ren Zhe. Pameran bertajuk A Path to Glory berlangsung dari akhir Juni hingga Agustus 2025 dan menampilkan lebih dari 40 patung yang terinspirasi oleh sastra silat legendaris Pendekar Pemanah Rajawali, atau dikenal juga sebagai Condor Heroes. Ini adalah adaptasi visual pertama dari genre sastra Wuxia yang begitu populer di Asia Timur.
Transformasi Sastra ke Bentuk Visual
Ren Zhe membawa karakter-karakter fiktif dari novel Jin Yong ke dalam bentuk seni patung menggunakan material stainless steel. Setiap karya mengandung gestur dinamis yang mencerminkan gerakan bela diri tradisional Tiongkok. Bagi pengunjung Indonesia, karakter ini tidak asing—dulunya sangat populer pada era 1980-an melalui serial TV Pendekar Pemanah Rajawali.
Menurut kurator pameran, William Wong, karya Ren Zhe berhasil memadukan dua elemen penting: seni rupa kontemporer dan nilai-nilai budaya Tionghoa yang mendalam. “Jin Yong, dengan karya sastranya, telah menabur benih Nanyang puluhan tahun lalu. Kini, melalui tangan jenius Ren Zhe, kita bisa melihat bagaimana sastra itu hidup kembali dalam bentuk patung,” ujarnya dalam siaran pers.
Pengakuan Budaya dan Literasi Wuxia
Presiden MOCA, Linda Ma, yang merupakan keturunan Tionghoa peranakan di Indonesia, menyatakan bahwa novel-novel Wuxia seperti karya Jin Yong memiliki tempat istimewa dalam hati banyak generasi. “Karya Jin Yong bukan hanya hiburan, tapi juga warisan budaya yang membentuk imajinasi dan identitas banyak orang di Asia Tenggara,” katanya.
Lebih lanjut, Wong menegaskan bahwa kemampuan Ren Zhe dalam menafsirkan teks sastra ke dalam medium patung sungguh luar biasa. “Ia membebaskan tokoh-tokoh novel keluar dari teks tulis. Gestur dramatis dan realistis dari setiap patung seolah-olah membuat para pendekar Martial Art hadir secara nyata di MOCA.”
Dampak Budaya dan Edukasi
Pengaruh Jin Yong ternyata tidak hanya terbatas pada dunia sastra. Di Singapura, karyanya bahkan dimasukkan ke dalam kurikulum bahasa Mandarin oleh Kementerian Pendidikan setempat. Selain itu, kisah-kisahnya telah berulang kali diadaptasi ke dalam berbagai media: film, serial TV, komik, dan drama radio. Hal ini membuktikan bahwa sastra Wuxia memiliki daya tarik lintas generasi dan media.
Linda Ma menambahkan bahwa MOCA sedang merencanakan ekshibisi solo kedua Ren Zhe di Indonesia. “Ini akan menjadi kesempatan langka bagi publik Tanah Air untuk menyaksikan langsung bagaimana sastra silat diwujudkan dalam bentuk seni patung,” imbuhnya.
Masa Depan Kolaborasi Seni dan Budaya
Pameran ini tidak hanya sekadar ajang apresiasi seni, tetapi juga upaya melestarikan dan mengembangkan semangat kesatria dalam budaya Tiongkok. Melalui karya Ren Zhe, spirit Xia—yang mengedepankan kejujuran, keberanian, dan empati—tetap relevan dalam konteks modern.
Dengan rencana tur ke Indonesia dan kemungkinan kolaborasi dengan penulis lokal seperti Kho Ping Hoo (Asmaraman Sukowati), pameran ini membuka ruang baru untuk dialog budaya antara Tiongkok dan Nusantara. “Bakat Ren Zhe tidak hanya mengapresiasi sastra Jin Yong, tetapi juga jiwa Xia yang cerah dan bersinar,” tutup Linda Ma.
Melalui A Path to Glory, MOCA Singapura sukses menghubungkan masa lalu dan masa kini, sastra dan seni rupa, serta budaya lokal dengan panggung global.
